Rabu, 26 Oktober 2011

Hukum Penanaman Modal Dan Liberalisasi Perdagangan

Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional*
Yakub Adi Krisanto

Pendahuluan
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak dapat menghindarkan diri dari interaksi perdagangan internasional. Pertukaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional melampau batas wilayah negara. Perdagangan internasional mencerminkan gross domestic product (GDP) atau gross domestic income (GDI), yaitu pengukuran dasar dari kondisi ekonomi suatu negara dan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang dibuat di negara tersebut.[1] GDP berkaitan dengan pengukuran fundamental dari produksi dan standar kehidupan.
Perdagangan internasional menjadi sumber utama dari pendapatan ekonomi suatu negara. Karena tanpa perdagangan internasional, suatu negara akan terbatasi dalam wilayahnya sendiri ketika memproduksi barang dan jasa. Dalam hal demikian, suatu negara tidak akan mempunyai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa sendiri atau mencukupi kebutuhan barang dan jasa dari produksi yang dilakukan di dalam negeri. Ketidak mampuan memproduksi barang dan jasa sendiri dipengaruhi oleh ketersedian sumber daya seperti tenaga kerja, modal dan bahan baku.
Perdagangan internasional dan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara meniscayakan terjadi pertukaran sumber daya antar negara. Dimana suatu negara untuk bersaing dalam perdagangan internasional membutuhkan kemampuan meningkatkan daya saing barang dan jasa dengan melakukan efisiensi produksi. Efisiensi produksi tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, pertama, menciptakan iklim usaha yang bersaing, kedua, membangun suatu pemerintahan yang kuat dan ketiga, memberikan dorongan serta akses terhadap keterampilan, teknologi dan pasar asing.[2]
Pertukaran sumber daya antar negara mengakibatkan terjadi masuknya sumber daya dari luar negara ke negara tertentu. Masuknya sumber daya tersebut dapat dimaknai dalam 2 (dua) aspek yaitu pertama, sebagai bagian dari perdagangan internasional, dimana pemilik modal mencari lokas usaha untuk meningkatkan added value dari modal yang dimiliki dan kedua, peningkatan kapasitas produksi dalam negeri yang memiliki keterbatasan sumber daya tertentu. Meskipun suatu negara mempunyai sumber daya yang berlimpah seperti sumber daya alam tetapi kebutuhan atas sumber daya untuk mendukung penciptaan added value dari sumber daya alam tetap dibutuhkan.

Liberalisasi Perdagangan & Investasi
Dengan adanya rejim perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan maka tukar menukar sumber daya antar negara mengalami peningkatan. Pengaruh globalisasi mengintegrasikan perdagangan antar negara, dimana melahirkan perdagangan bebas yang menuntut setiap negara membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan karakteristik perdagangan bebas. Karakteristik perdagangan bebas adalah kebebasan melakukan perdagangan termasuk investasi untuk memproduksi barang atau jasa. Kebebasan berusaha membentuk iklim usaha yang mendorong persaingan usaha yang sehat. Salah satu manifestasi iklim usaha adalah akses pasar bagi para pemilik modal untuk melakukan kegiatan produksi.
Iklim usaha tersebut meliputi namun tidak terbatas pada ketersediaan fasilitas transportasi, kemudahan melakukan usaha, akses kredit ke lembaga perbankan, jaminan keamanan, pajak, perlindungan hukum dan ketersediaan pasokan bahan baku. Dalam hal ini upah buruh murah tidak termasuk dalam iklim usaha karena pemerintah harus belajar bahwa upah buruh tidak lagi menjadi daya tarik investasi. Tetapi ketersediaan tenaga kerja dapat menjamin keberlangsungan kegiatan usaha yang didukung dengan perlindungan hukum ketenagakerjaan.
Daya tarik suatu negara dalam memperoleh investasi adalah kemampuan menunjukkan iklim investasi yang baik. Bahwa yang dimaksud dengan iklim investasi yang baik apabila pemerintah memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha.[3] Usaha untuk menciptakan iklim investasi yang baik sebagai bagian dari daya tarik suatu negara menjadi pertimbangan pembaruan dan pembentukan UU Penananam Modal. Pun demikian yang terjadi di Indonesia, dimana kesadaran mengenai arti penting iklim investasi yang baik tertuang dalam bagian d UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Adaptasi terhadap situasi global dan kesadaran mengenai arti penting penanaman modal (investasi) bagi perekonomian Indonesia telah mendorong untuk memperbaiki sistem hukum mengenai penanaman modal. Kesadaran tersebut terbangun dari perubahan perekomian global dengan globalisasi yang melahirkan liberalisasi perdagangan. Dimana aliran modal (capital inflow) menjadi sangat fleksibel untuk keluar-masuk dari dan ke suatu negara tertentu. Fleksibilitas aliran modal inilah yang harus dikelola agar tetap berada dalam suatu negara. Keberadaan modal dalam suatu negara berpengaruh terhadap kondisi perekomian, dimana penarikan modal (capital flight) memiliki contagion effect yaitu rendahnya tingkat kepercayaan internasional terhadap suatu negara.
Kesadaran akan arti penting penanaman modal juga dimiliki oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.[4]
Bahwa tujuan penanaman modal hanya dapat dicapai ketika iklim investasi dapat mengakomodasi kepentingan pemilik modal dan menjaga kepentingan nasional yaitu menciptakan lapangan kerja. Penciptaan iklim investasi yang menarik minta investor harus dilakukan dengan melakukan pembaruan terhadap pemberian ijin dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam pelaksanaan investasi. Dalam konteks inilah hukum penanaman modal menjadi penting khususnya pertama, mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap ketertarikan pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua, ketertarikan tersebut tidak hanya didasarkan ketersedian sumber daya alam atau tenaga kerja melainkan juga pembaruan terhadap kepastian hukum kegiatan berinvestasi. Ketiga, pembaruan hukum dilakukan untuk mendorong reformasi perijinan dalam berinvestasi dan jaminan keberlangsungan usaha.
Reformasi birokrasi dalam memangkas ekonomi biaya tinggi inilah yang menjadi salah satu titik tolak pengaturan dalam UU Penanaman Modal yaitu,
1.   mendorong koordinasi antar instansi dalam promosi dan pelayanan penanaman modal;
2.   koordinasi berkaitan dengan kecepatan pemberian ijin dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing;
3.   pelayanan perijinan terpadu satu pintu (one stop service);

Tidak ada komentar:

Posting Komentar