Hukum Penanaman Modal, Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan Nasional*
Yakub Adi Krisanto
Pendahuluan
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak dapat menghindarkan diri dari interaksi perdagangan internasional. Pertukaran
barang dan jasa dalam perdagangan internasional melampau batas wilayah
negara. Perdagangan internasional mencerminkan gross domestic product (GDP) atau gross domestic income (GDI),
yaitu pengukuran dasar dari kondisi ekonomi suatu negara dan nilai
pasar dari seluruh barang dan jasa yang dibuat di negara tersebut.[1] GDP berkaitan dengan pengukuran fundamental dari produksi dan standar kehidupan.
Perdagangan
internasional menjadi sumber utama dari pendapatan ekonomi suatu
negara. Karena tanpa perdagangan internasional, suatu negara akan
terbatasi dalam wilayahnya sendiri ketika memproduksi barang dan jasa.
Dalam hal demikian, suatu negara tidak akan mempunyai kemampuan untuk
memproduksi barang dan jasa sendiri atau mencukupi kebutuhan barang dan
jasa dari produksi yang dilakukan di dalam negeri. Ketidak mampuan
memproduksi barang dan jasa sendiri dipengaruhi oleh ketersedian sumber
daya seperti tenaga kerja, modal dan bahan baku.
Perdagangan
internasional dan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara
meniscayakan terjadi pertukaran sumber daya antar negara. Dimana suatu
negara untuk bersaing dalam perdagangan internasional membutuhkan
kemampuan meningkatkan daya saing barang dan jasa dengan melakukan
efisiensi produksi. Efisiensi produksi tersebut dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut, pertama, menciptakan iklim usaha yang bersaing, kedua, membangun suatu pemerintahan yang kuat dan ketiga, memberikan dorongan serta akses terhadap keterampilan, teknologi dan pasar asing.[2]
Pertukaran
sumber daya antar negara mengakibatkan terjadi masuknya sumber daya
dari luar negara ke negara tertentu. Masuknya sumber daya tersebut dapat
dimaknai dalam 2 (dua) aspek yaitu pertama, sebagai bagian dari perdagangan internasional, dimana pemilik modal mencari lokas usaha untuk meningkatkan added value dari modal yang dimiliki dan kedua,
peningkatan kapasitas produksi dalam negeri yang memiliki keterbatasan
sumber daya tertentu. Meskipun suatu negara mempunyai sumber daya yang
berlimpah seperti sumber daya alam tetapi kebutuhan atas sumber daya
untuk mendukung penciptaan added value dari sumber daya alam tetap dibutuhkan.
Liberalisasi Perdagangan & Investasi
Dengan
adanya rejim perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan maka tukar
menukar sumber daya antar negara mengalami peningkatan. Pengaruh
globalisasi mengintegrasikan perdagangan antar negara, dimana melahirkan
perdagangan bebas yang menuntut setiap negara membangun sistem ekonomi
yang sesuai dengan karakteristik perdagangan bebas. Karakteristik
perdagangan bebas adalah kebebasan melakukan perdagangan termasuk
investasi untuk memproduksi barang atau jasa. Kebebasan berusaha
membentuk iklim usaha yang mendorong persaingan usaha yang sehat. Salah
satu manifestasi iklim usaha adalah akses pasar bagi para pemilik modal
untuk melakukan kegiatan produksi.
Iklim
usaha tersebut meliputi namun tidak terbatas pada ketersediaan
fasilitas transportasi, kemudahan melakukan usaha, akses kredit ke
lembaga perbankan, jaminan keamanan, pajak, perlindungan hukum dan
ketersediaan pasokan bahan baku. Dalam hal ini upah buruh murah tidak
termasuk dalam iklim usaha karena pemerintah harus belajar bahwa upah
buruh tidak lagi menjadi daya tarik investasi. Tetapi ketersediaan
tenaga kerja dapat menjamin keberlangsungan kegiatan usaha yang didukung
dengan perlindungan hukum ketenagakerjaan.
Daya
tarik suatu negara dalam memperoleh investasi adalah kemampuan
menunjukkan iklim investasi yang baik. Bahwa yang dimaksud dengan iklim
investasi yang baik apabila pemerintah memberikan kesempatan dan
insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif,
menciptakan lapangan kerja dan memperluas kegiatan usaha.[3]
Usaha untuk menciptakan iklim investasi yang baik sebagai bagian dari
daya tarik suatu negara menjadi pertimbangan pembaruan dan pembentukan
UU Penananam Modal. Pun demikian yang terjadi di Indonesia, dimana
kesadaran mengenai arti penting iklim investasi yang baik tertuang dalam
bagian d UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
bahwa
dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan
Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum,
keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional.
Adaptasi
terhadap situasi global dan kesadaran mengenai arti penting penanaman
modal (investasi) bagi perekonomian Indonesia telah mendorong untuk
memperbaiki sistem hukum mengenai penanaman modal. Kesadaran tersebut
terbangun dari perubahan perekomian global dengan globalisasi yang
melahirkan liberalisasi perdagangan. Dimana aliran modal (capital inflow)
menjadi sangat fleksibel untuk keluar-masuk dari dan ke suatu negara
tertentu. Fleksibilitas aliran modal inilah yang harus dikelola agar
tetap berada dalam suatu negara. Keberadaan modal dalam suatu negara
berpengaruh terhadap kondisi perekomian, dimana penarikan modal (capital flight) memiliki contagion effect yaitu rendahnya tingkat kepercayaan internasional terhadap suatu negara.
Kesadaran akan arti penting penanaman modal juga dimiliki oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.
Berkaitan
dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan
ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam
suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan
penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara
lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan
daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang
penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim
usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.[4]
Bahwa
tujuan penanaman modal hanya dapat dicapai ketika iklim investasi dapat
mengakomodasi kepentingan pemilik modal dan menjaga kepentingan
nasional yaitu menciptakan lapangan kerja. Penciptaan iklim investasi
yang menarik minta investor harus dilakukan dengan melakukan pembaruan
terhadap pemberian ijin dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam pelaksanaan investasi. Dalam konteks inilah hukum penanaman modal menjadi penting khususnya pertama, mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap ketertarikan pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua,
ketertarikan tersebut tidak hanya didasarkan ketersedian sumber daya
alam atau tenaga kerja melainkan juga pembaruan terhadap kepastian hukum
kegiatan berinvestasi. Ketiga, pembaruan hukum dilakukan untuk mendorong reformasi perijinan dalam berinvestasi dan jaminan keberlangsungan usaha.
Reformasi
birokrasi dalam memangkas ekonomi biaya tinggi inilah yang menjadi
salah satu titik tolak pengaturan dalam UU Penanaman Modal yaitu,
1. mendorong koordinasi antar instansi dalam promosi dan pelayanan penanaman modal;
2. koordinasi berkaitan dengan kecepatan pemberian ijin dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing;
3. pelayanan perijinan terpadu satu pintu (one stop service);
Tidak ada komentar:
Posting Komentar