1
SISTEMATIKA TEKNIK
PENYUSUNAN
PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN
2
KERANGKA PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar, Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika
diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
3
JUDUL
Judul Peraturan Perundangundangan
memuat keterangan
mengenai jenis, nomor,
tahunpengundangan atau
penetapan, dan nama
Peraturan Perundangundangan.
Nama Peraturan Perundangundangan
dibuat secara singkat
dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang-undangan.
Judul ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin tanpa diakhiri
tanda baca.
Contoh:
PERATURAN DAERAH KOTA…..
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TAMAN KOTA
4
Pada judul Peraturan
Perundang-undangan
perubahan ditambahkan frase
perubahan atas depan nama
Peraturan Perundang-undangan
yang diubah,
Contoh
PERATURAN DAERAH KOTA…
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN NOMOR 15 TAHUN
2002
TENTANG
TAMAN KOTA
5
Jika Peraturan Perundangundangan
yang diubah
mempunyai nama singkat,
Peraturan Perundangundangan
perubahan
dapat menggunakan
nama singkat Peraturan
Perundangundangan yang
diubah.
CONTOH
PERATURAN DAERAH KOTA…
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN
DAERAH PENYEDIAN ARENA
BERMAIN ANAK
6
Pada judul Peraturan
Perundang-undangan
pencabutan disisipkan
kata pencabutan di
depan nama Peraturan
Perundang-undangan
yang dicabut.
Contoh,
PERATURAN DAERAH KOTA…
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PENCABUTAN
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TAMAN KOTA
7
PEMBUKAAN
Pembukaan
Peraturan
Perundangundangan
terdiri
atas:
1. Frase Dengan
Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa;
2. Jabatan
Pembentuk
Peraturan
Perundangundangan;
3. Konsiderans;
4. Dasar Hukum; dan
5. Diktum.
8
Frase Dengan Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis
Peraturan Perundangundangan
sebelum nama
jabatan pembentuk
Peraturan Perundangundangan
dicantumkan
frase DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
yang ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang
diletakkan di tengah
marjin
9
Jabatan Pembentuk
Peraturan Perundangundangan
Jabatan pembentuk
Peraturan Perundangundangan
ditulis
seluruhnya dengan
huruf kapital yang
diletakkan di tengah
marjin dan diakhiri
dengan tanda baca
koma.
10
Konsiderans
• Konsiderans diawali
dengan kata Menimbang.
• Konsiderans memuat
uraian singkat mengenai
pokok-pokok pikiran yang
menjadi latar belakang
dan alasan pembuatan
Peraturan Perundangundangan.
• Pokok-pokok pikiran pada
konsiderans Undang-
Undang atau peraturan
daerah memuat unsur
filosofis, yuridis, dan
sosiologis yang menjadi
latar belakang
pembuatannya.
11
• Pokok-pokok pikiran yang hanya
menyatakan bahwa Peraturan
Perundang-undangan dianggap
perlu untuk dibuat adalah kurang
tepat karena tidak mencerminkan
tentang latar belakang dan alasan
dibuatnya peraturan perundangundangan
tersebut. Lihat juga Nomor
24.
• Jika konsiderans memuat lebih dari
satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok
pikiran dirumuskan dalam rangkaian
kalimat yang merupakan kesatuan
pengertian.
• Tiap-tiap pokok pikiran diawali
dengan huruf abjad, dan dirumuskan
dalam satu kalimat yang diawali
dengan kata bahwa dan diakhiri
dengan tanda baca titik koma.
Contoh:
Menimbang: a. bahwa….;
b. bahwa….;
c. bahwa….;
12
Dasar Hukum
• Dasar hukum diawali dengan kata
Mengingat.
• Dasar hukum memuat dasar
kewenangan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Perundangundangan
yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Perundangundangan
tersebut.
• Peraturan Perundang-undangan
yang digunakan sebagai dasar
hukum hanya Peraturan
Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih
tinggi.
• Peraturan Perundang-undangan
yang akan dicabut dengan
Peraturan Perundang-undangan
yang akan dibentuk atau
Peraturan Perundang-undangan
yang sudah diundangkan tetapi
belum resmi berlaku, tidak
dicantumkan sebagai dasar
hukum.
13
• Jika jumlah Peraturan Perundangundangan
yang dijadikan dasar
hukum lebih dari satu, urutan
pencantuman perlu memperhatikan
tata urutan Peraturan Perundangundangan
dan jika tingkatannya
sama disusun secara kronologis
berdasarkan saat pengundangan
atau penetapannya.
• Dasar hukum yang diambil dari pasal
(-pasal) dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditulis dengan
menyebutkan pasal atau beberapa
pasal yang berkaitan Frase Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah
penyebutan pasal terakhir dan
kedua huruf u ditulis dengan huruf
kapital.
Contoh
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
14
Dasar hukum yang bukan Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak perlu
mencantumkan pasal, tetapi cukup
mencantumkan nama judul
Peraturan Perundang-undangan.
Penulisan undang-undang, kedua huruf
u ditulis dengan huruf kapital.
Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden
perlu dilengkapi dengan
pencantuman Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia yang diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: 1. ….;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 4316);
15
Diktum
Diktum terdiri atas:
a. kata
Memutuskan;
b. kata
Menetapkan;
c. Nama Peraturan
Perundangundangan.
16
• Kata Memutuskan ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital tanpa spasi di
antara suku kata dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua serta
diletakkan di tengah marjin.
• Pada Peraturan Daerah, sebelum
kata Memutuskan dicantumkan
frase Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH ... (nama daerah) dan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ...
(nama daerah), yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital
dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
... (nama daerah)
dan
GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:
17
Kata Menetapkan dicantumkan
sesudah kata Memutuskan yang
disejajarkan ke bawah dengan
kata Menimbang dan
Mengingat. Huruf awal kata
Menetapkan ditulis dengan
huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik dua.
Nama yang tercantum dalam
judul Peraturan Perundangundangan
dicantumkan lagi
setelah kata Menetapkan dan
didahului dengan percantuman
jenis Peraturan Perundangundangan
tanpa frase Republik
Indonesia, serta ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda
baca titik.
Contoh
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERIMBANGAN
K E U A N G A N A N T A R A
PEMERINTAH PUSAT DAN
D A E R A H .
18
BATANG TUBUH
Batang tubuh
Peraturan
Perundangundangan
memuat semua
substansi
Peraturan
Perundangundangan
yang
dirumuskan dalam
pasal (-pasal).
19
Pada umumnya substansi
dalam batang tubuh
dikelompokkan ke dalam:
(1) Ketentuan Umum;
(2) Materi Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan Pidana (Jika
diperlukan);
(4) Ketentuan Peralihan (Jika
diperlukan);
(5) Ketentuan Penutup.
20
Beberapa catatan
penting mengenai
batang tubuh
Dalam pengelompokkan substansi
sedapat mungkin dihindari adanya
bab ketentuan lain atau sejenisnya.
Materi yang bersangkutan,
diupayakan untuk masuk ke dalam
bab yang ada atau dapat pula
dimuat dalam bab tersendiri dengan
judul yang sesuai dengan materi
yang diatur.
Substansi yang berupa sanksi
administratif atau sanksi keperdataan
atas pelanggaran norma tersebut
dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau
sanksi keperdataan.
Jika norma yang memberikan sanksi
administratif atau keperdataan
terdapat lebih dari satu pasal, sanksi
administratif atau sanksi keperdataan
dirumuskan dalam pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan
demikian hindari rumusan ketentuan
sanksi yang sekaligus memuat sanksi
pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
21
Sanksi administratif dapat berupa,
antara lain, pencabutan izin,
pembubaran, pengawasan,
pemberhentian sementara,
denda administratif, atau daya
paksa polisional. Saksi
keperdataan dapat berupa,
antara lain, ganti kerugian.
Pengelompokkan materi Peraturan
Perundang-undangan dapat
disusun secara sistematis dalam
buku, bab, bagian, dan
paragraf.
Jika Peraturan Perundangundangan
mempunyai materi
yang ruang lingkupnya sangat
luas dan mempunyai banyak
pasal, pasal (-pasal) tersebut
dapat dikelompokkan menjadi:
buku (jika merupakan kodifikasi),
bab, bagian, dan paragraf.
Pengelompokkan materi dalam
buku, bab, bagian, dan paragraf
dilakukan atas dasar kesamaan
materi.
22
Urutan pengelompokan
adalah sebagai berikut:
a. bab dengan pasal (-
pasal) tanpa bagian dan
paragraf,
b. bab dengan bagian dan
pasal (-pasal) tanpa
paragraf-, atau
b. bab dengan bagian dan
paragraf yang berisi pasal
(-pasal).
23
Bab diberi nomor urut dengan angka
Romawi dan judul bab yang
seluruhnya ditulis dengan huruf
kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian diberi nomor urut dengan
bilangan tingkat yang ditulis
dengan huruf dan diberi judul.
Huruf awal kata bagian, urutan
bilangan, dan setiap kata pada
judul bagian ditulis dengan huruf
kapital, kecuali huruf awal kata
partikel yang tidak terletak pada
awal frase.
Contoh:
Bagian Kelima.
Persyaratan Teknis Kendaraan
Bermotor,
Kereta Gandengan, dan Kereta
Tempelan
24
Paragraf diberi nomor urut
dengan angka Arab dan
diberi judul.
Huruf awal dari kata
paragraf dan setiap kata
pada judul paragraf ditulis
dengan huruf kapital,
kecuali huruf awal kata
partikel yang tidak terletak
pada awal frase.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim
25
Pasal merupakan satuan aturan
dalam Peraturan Perundangundangan
yang memuat satu
norma, dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara
singkat, jelas, dan lugas.
Materi Peraturan Perundangundangan
lebih baik dirumuskan
dalam banyak pasal yang singkat
dan jelas daripada ke dalam
beberapa pasal yang masingmasing
pasal memuat banyak
ayat, kecuali jika materi yang
menjadi isi pasal itu merupakan
satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
Pasal diberi nomor urut dengan angka
Arab.
Huruf awal kata pasal yang
digunakan sebagai acuan ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
26
• Pasal dapat dirinci ke dalam
beberapa ayat.
• Ayatdiberinomorurutdengan
angka Arab di antara tanda baca
kurung tanpa diakhiri tanda baca
titik.
• Satu ayat hendaknya hanya
memuat satu norma yang
dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
• Huruf awal kata ayat yang
digunakan sebagai acuan ditulis
dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1) Satu permintaan pendaftaran
merek hanya dapat diajukan untuk 1
(satu) kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran merek
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyebutkan jenis barang atau
jasa yang termasuk dalam kelas
yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kelas barang atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
27
Jika satu pasal atau ayat memuat
rincian unsur, maka di samping
dirumuskan dalam bentuk kalimat
dengar rincian, dapat pula
dipertimbangkan penggunaan
rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih ialah
warga negara`Indonesia yang
telah berusia 17 (tujuh belas) tahun
atau telah kawin dan telah
terdaftar pada daftar pemilih.
Isi pasal tersebut dapat lebih
mudah dipaham jika dirumuskan
sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih ialah
warga negara Indonesia yang:
a. telah berusia 17 (tujuh belas)
tahun atau telah kawin;dan
b. telah terdaftar pada daftar
pemilih.
28
Dalam membuat rumusan pasal atau ayat
dengan bentuk tabulasi hendaknya
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. setiap rincian harus dapat dibaca
sebagai satu rangkaian kesatuan
dengan frase pembuka;
b. setiap rincian diawali dengan huruf
(abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
c. setiap frase dalam rincian diawali dengan
huruf kecil;
d. setiap rincian diakhiri dengan tanda
baca titik koma;
e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam
unsur yang lebih kecil, maka unsur
tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f. di belakang rincian yang masih
mempunyai rincian lebih lanjut diberi
tanda baca titik dua;
g. pembagian rincian (dengan urutan makin
kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang
diikuti dengan tanda baca titik; angka
Arab diikuti dengan tanda baca titik;
abjad kecil dengan tanda baca kurung
tutup; angka Arab dengan tanda baca
kurung tutup;
h. pembagian rincian hendaknya tidak
melebihi empat tingkat. Jika rincian
melebihi empat tingkat, perlu
dipertimbangkan pemecahan pasal
yang bersangkutan ke dalam pasal atau
ayat lain.
29
Jika unsur atau rincian dalam
tabulasi dimaksudkan sebagai
rincian kumulatif, ditambahkan
kata dan yang diletakkan di
belakang rincian kedua dari
rincian terakhir.
Jika rincian dalam tabulasi
dimaksudkan sebagai rincian
alternatif ditambahkan kata
atau yang diletakkan di
belakang rincian kedua dari
rincian terakhir.
Jika rincian dalam tabulasi
dimaksudkan sebagai rincian
kumulatif dan alternatif,
ditambahkan kata dan/atau
yang diletakkan di belakang
rincian kedua dari rincian
terakhir.
Kata dan, atau, dan/atau tidak
perlu diulangi pada akhir setiap
unsur atau rincian.
30
31
32
33
Ketentuan Umum
Ketentuan umum diletakkan dalam bab
kesatu. Jika dalam Peraturan Perundangundangan
tidak dilakukan
pengelompokan bab, ketentuan umum
diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari
satu pasal.
Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim vang digunakan
dalam peraturan;
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang
berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan
asas, maksud, dan tujuan.
Frase pembuka dalam ketentuan umum
undang-undang berbunyi
-Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksudkan dengan:
Frase pembuka dalam ketentuan umum
Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang- Undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
Jika ketentuan umum memuat batasan
pengertian atau definisi singkatan atau
akrorim lebih dari satu, maka masingmasing
uraiannya diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan
huraf kapital serta diakhiri dengan tanda
baca titik.
34
Kata atau istilah yang dimuat dalam
ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulangulang
di dalam pasal (-pasal)
selanjutnya.
Jika suatu kata atau istilah hanya
digunakan satu kali, namun kata atau
istilah itu diperlukan pengertiannya
untuk suatu bab, bagian atau
paragraf tertentu, dianjurkan agar
kata atau istilah itu diberi definisi.
Jika suatu batasan pengertian atau
definsi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan
pelaksanaan, maka ramusan
batasan pengertian atau definisi di
dalam peraturan pelaksanaan harus
sama dengan rumusan batasan
pengertian atau definisi yang
terdapat di dalam peraturan lebih
tinggi yang dilaksanakan tersebut.
Karena batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim
berfungsi, untuk menjelaskan makna
suatu kata atau istilah maka batasan
pengertian atau definisi, singkatan,
atau akronim tidak perlu diberi
penjelasan, dan karena itu harus
dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
35
Urutan penempatan kata atau
istilah dalam ketentuan
umum mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur
tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat
lebih dahulu di dalam materi
pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan
yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang
mempunyai kaitan dengan
pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan
secara berurutan.
36
Urutan penempatan kata
atau istilah dalam
ketentuan umum mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur
tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat
lebih dahulu di dalam
materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan
yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang
mempunyai kaitan dengan
pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan
secara berurutan.
37
Materi Pokok yang Diatur
Materi pokok yang diatur
ditempatkan langsung
setelah bab ketentuan
umum, dan jika tidak ada
pengelompokkan bab,
materi pokok yang diatur
diletakkan setelah pasal (-
pasal) ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke
dalam kelompok yang
lebih kecil dilakukan
menurut kriteria yang
dijadikan dasar
pembagian.
38
Contoh
a. pembagian berdasarkan hak atau
kepentingan yang dilindungi, seperti
pembagian dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana:
(1) kejahatan terhadap keamanan
negara;
(2) kejahatan terhadap martabat
Presiden;
(3) kejahatan terhadap negara sahabat
dan wakilnya;
(4) kejahatan terhadap kewajiban dan
hak kenegaraan;
(5) kejahatan terhadap ketertiban
umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan
urutan/kronologis, seperti pembagian
dalam hukum acara pidana, dimulai
dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan
peninjauan kembali.
c. pembagian berdasarkan urutan
jenjang jabatan, seperti Jaksa
Agung, Wakil Jaksa Agung, dan
Jaksa Agung Muda.
39
Ketentuan Pidana (jika
diperlukan)
Ketentuan pidana memuat
rumusan yang menyatakan
penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap
ketentuan yang berisi norma
larangan atau perintah.
Dalam merumuskan ketentuan
pidana perlu diperhatikan
asas-asas umum ketentuan
pidana yang terdapat dalam
Buku Kesatu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, karena
ketentuan dalam Buku Kesatu
berlaku juga bagi perbuatan
yang dapat dipidana menurut
Peraturan
Perundangundangan lain,
kecuali jika oleh Undang-
Undang ditentukan lain (Pasal
103 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana).
Dalam menentukan lamanya
pidana atau banyaknya
denda perlu dipertimbangkan
mengenai dampak yang
ditimbulkan oleh tindak pidana
dalam masyarakat serta unsur
40
Ketentuan pidana ditempatkan
dalam bab tersendiri, yaitu bab
ketentuan pidana yang
letaknya sesudah materi pokok
yang diatur atau sebelum bab
ketentuan peralihan. Jika bab
ketentuan peralihan tidak ada,
letaknya adalah sebelum bab
ketentuan penutup.
Jika di dalam Peraturan
Perandang-undangan tidak
diadakan pengelompokan
bab per bab, ketentuan
pidana ditempatkan dalam
pasal yang terletak langsung
sebelum pasal (-pasal) yang
berisi ketentuan peralihan. Jika
tiidak ada pasal yang berisi
ketentuan peralihan,
ketentuan pidana diletakkan
sebelum pasal penutup.
Ketentuan pidana hanya dimuat
dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah.
41
Rumusan ketentuan pidana
harus menyebutkan secara
tegas norma larangan atau
perintah yang dilanggar
dan menyebutkan pasal (-
pasal) yang memuat norma
tersebut. Dengan demikian,
perlu dihindari:
a. pengacuan kepada
ketentuan pidana
Peraturan Perandangundangan
lain.
b. pengacuan kepada Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana, jika elemen atau
unsur-unsur dari norma
yang diacu tidak sama;
atau
c. penyusunan rumusan sendiri
yang berbeda atau tidak
terdapat di norma-norma
yang diatur dalam pasal (-
pasal) sebelumnya, kecuali
untuk Undang-Undang
tindak pidana khusus.
42
Jika ketentuan pidana
berlaku bagi siapapun,
subyek dari ketentuan
pidana dirumuskan
dengan frase setiap
orang.
Jika ketentuan pidana
hanya berlaku bagi
subyek tertentu, subyek
itu dirumuskan secara
tegas, misalnya, orang
asing, pegawai negeri,
saksi.
43
Ketentuan Peralihan
(jika diperlukan)
Ketentuan peralihan memuat
penyesuaian terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang sudah
ada pada saat Peraturan
Perundang-undangan baru mulai
berlaku, agar Peraturan Perundangundangan
tersebut dapat berjalan
lancar dan tidak menimbulkan
permasalahan hukum.
Ketentuan peralihan dimuat dalam
bab ketentuan peralihan dan
ditempatkan di antara bab
ketentuan pidana dan bab
Ketentuan Penutup. Jika dalam
Peraturan Perundang-undangan
tidak diadakan pengelompokan
bab, pasal yang memuat ketentuan
peralihan ditempatkan sebelum
pasal yang memuat ketentuan
penutup.
Pada saat suatu Peraturan Perundangundangan
dinyatakan mulai
berlaku, segala hubungan hukum
yang ada atau tindakan hukum
yang terjadi baik sebelum, pada
saat maupun sesudah Peraturan
Perundang-undangan yang baru itu
dinyatakan mulai berlaku tunduk
44
Di dalam Peraturan
Perundang-undangan
yang baru, dapat dimuat
pengaturan yang
memuat penyimpangan
sementara atau
penundaan sementara
bagi tindakan hukum atau
hubunganhukum tertentu.
Penyimpangan sementara
itu berlaku juga bagi
ketentuan yang
diberlakusurutkan.
45
Jika suatu Peraturan Perundangundangan
diberlakukan surut,
Peraturan
Perundangundangan tersebut
hendaknya memuat ketentuan
mengenai status dari tindakan
hukum yangterjadi, atau
hubungan hukum yang ada di
dalam tenggang waktu antara
tanggal mulai berlaku surut
dan tanggal mulai berlaku
pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang
timbul akibat Peraturan Daerah
ini dibayarkan palinglambat 3
(tiga) bulan sejak saat tanggal
pengundangan Peraturan
Daerah ini.
46
Hindari rumusan dalam
ketentuan peralihan yang
isinya memuat perubahan
terselubung atas ketentuan
Peraturan Perandangundangan
lain. Perubahan
ini hendaknya dilakukan
dengan membuat batasan
pengertian baru di dalam
ketentuan umum Peraturan
Perundang-undangan
atau dilakukan dengan
membuat Peraturan
Perundang-undangan
perubahan.
Contoh:
Pasal 35
(1) Desa atau yang disebut
dengan nama lainnya
yang setingkat dengan
desa yang sudah ada
pada saat mulai
berlakunya Undang-
Undang ini dinyatakan
sebagai desa menurut
Pasal I huruf a
47
Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup ditempatkan
dalam bab terakhir. Jika tidak
diadakan pengelompokan bab,
ketentuan penutup ditempatkan
dalam pasal (-pasal) terakhir.
Pada umumnya ketentuan penutup
memuat ketentuan mengenai:
• a. penunjukan organ atau alat
perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundangandangan;
• b. nama singkat;
• c. status Peraturan Perundangundangan
yang sudah ada; dan
• d. saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
Ketentuan penutup dapat memuat
peraturan pelaksanaan yang
bersifat:
a. menjalankan (eksekutif), misalnya,
penunjukan pejabat tertentu yang
diberi kewenangan untuk
memberikan izin, mengangkat
pegawai, dan lain-lain;
b. mengatur (legislatif), misalnya,
memberikan kewenangan untuk
membuat peraturan pelaksanaan.
48
Bagi nama Peraturan
Perandang-undangan
yang panjang dapat
dimuat ketentuan
mengenai nama singkat
(judul kutipan) dengan
memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. nomor dan tahun
pengeluaran peraturan
yang bersangkutan tidak
dicantumkan;
b. nama singkat bukan
berupa singkatan atau
akronim, kecuali jika
singkatan atau akronim itu
sudah sangat dikenal dan
tidak menimbulkan salah
pengertian.
49
Nama singkat tidak
memuat pengertian
yang menyimpang
dari isi dan nama
peraturan.
Contoh nama singkat
yang kurang tepat
(Undang-Undang
tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan)
Undang-Undang ini
dapat disebut
Undang-Undang
tentang Karantina
Hewan.
50
Hindari memberikan
nama singkat bagi
nama Peraturan
Perundang-undangan
yang sebenarnya
sudah singkat.
Contoh nama singkat
yang kurang tepat:
(Undang-Undang
tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini
dapat disebut
Undang-Undang
tentang Bank
Indonesia.
51
Jika materi dalam Peraturan
Perundang-undangan baru
menyebabkan perlunya
penggantian seluruh atau
sebagian materi dalam
Peraturan Perundangundangan
lama, di dalam
Peraturan Perundangundangan
baru harus secara
tegas diatur mengenai
pencabutan seluruh atau
sebagian Peraturan
Perundang-undangan lama.
Rumusan pencabutan diawali
dengan frase Pada saat
Undang-Undang ini mulai
berlaku, kecuali untuk
pencabutan yang dilakukan
dengan Peraturan Perundangundangan
pencabutan
tersendiri.
52
Demi kepastian hukum,
pencabutan Peraturan
Perundang-undangan
hendaknya tidak
dirumuskan secara umum
tetapi menyebutkan
dengan tegas Peraturan
Perundang- undangan
mana yang dicabut.
Untuk mencabut Peraturan
Perundang-undangan
yang telah diundangkan
dan telah mulai berlaku,
gunakan frase dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
53
Jika jumlah Peraturan
Perundang-undangan
yang dicabut lebih dari 1
(satu), dapat
dipertimbangkan cara
penulisan dengan rincian
dalam bentuk tabulasi.
Pencabutan Peraturan
Perundang-undangan
harus disertai dengan
keterangan mengenai,
status hukum dari
peraturan pelaksanaan,
peraturan lebih rendah,
atau keputusan yang
telah dikeluarkan
berdasarkan Peraturan
Perandang-undangan
yang dicabut.
54
Jika ada penyimpangan terhadap saat
mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan yang
bersangkutan pada saat diundankan,
hal ini hendaknya dinyatakan secara
tegas di dalam Peraturan Perundangundangan
yang bersangkutan
dengan:
a. menentukan tanggal tertentu saat
peraturan akan berlaku;
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2000.
b. menyerahkan penetapan saat mulal
berlakunya kepada Peraturan
Perundang-undangan lain yang
tingkatannya sama, jika yang
diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh
Peraturan Perundang-undangan lain
yang lebih rendah.
Contoh:
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini
akan ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya
tenggang waktu tertentu sejak saat
Pengundangan atau penetapan. Agar
tidak menimbulkan kekeliruan
penafsiran gunakan frase setelah ...
(tenggang waktu) sejak ...
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah
1 (satu) tahun sejak tanggal
pengundangan.
55
Penyimpangan terhadap
saat mulai berlaku
Peraturan Perundangundangan
hendaknya
dinyatakan secara tegas
dengan
Peraturan Perundangundangan
hanya dapat
dicabut dengan
Peraturan
Perundangundanganyan
g tingkatannya sama atau
lebih tinggi.
56
PENUTUP
Penutup merupakan bagian
akhir Peraturan Perundangundangan
dan memuat:
a. rumusan perintah
pengundangan dan
penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, atau Berita Daerah;
b. penandatanganan
pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundangundangan;
c. Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan; dan
d. akhir bagian penutup.
57
Rumusan perintah
pengundangan dan
penempatan Peraturan
Perundang-undangan
dalam Lembaran Negara
atau Berita Daerah yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh
Agar setiap orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan...(jenis
Peraturan Perundangundangan)
... ini dengan
penempatannya dalam
Lembaran Daerah (Berita
Daerah).
58
Penandatanganan
pengesahan atau
penetapan Peraturan
Perundang-undangan
memuat:
a. tempat dan tanggal
pengesahan atau
penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat;
dan
d. nama lengkap pejabat
yang mendatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
59
Rumusan tempat dan
tanggal pengesahan atau
penetapan diletakkan di
sebelah kanan.
Nama jabatan dan nama
pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir
nama jabatan diberi
tanda baca koma.
Contoh untuk pengesahan
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK
TNDONTESIA,
tanda tangan
NAMA
60
Penulisan frase Lembaran
Negara Republik
Indonesia, Berita Negara
Republik
Indonesia,Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah
ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital.
Contoh
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA)
... TAHUN ...NOMOR....
61
PENJELASAN
Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang dapat
diberi penjelasan, jika diperlukan.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran
resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu, penjelasan hanya
mernuat uraian atau jabaran lebih
lanjut dari norma yang diatur dalam
batang tubuh. Dengan demikian,
penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan
terjadinya ketidakjelasan dari norma
yang dijelaskan.
Penjelasan tidak dapat digunakan
sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut.
Oleh karena itu, hindari membuat
rumusan norma di dalam bagian
penjelasan.
62
LAMPIRAN (Jika
DadlaipmerhluaklaPne)raturan
Perundang-undangan
memerlukan lampiran, hal
tersebut harus dinyatakan
dalam batang tubuh dan
pernyataan bahwa
lampiran tersebut
merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari
Peraturan Perundangundangan
yang
bersangkutan. Pada akhir
lampiran hatus
dicantumkan nama dan
tanda tangan pejabat
yang
mengesahkan/menetapka
n Peraturan Perundangundangan
yang
bersangkutan.
63
Bentuk RAPERDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar